Kamis, April 25, 2024

SURAT SEORANG NENEK KEPADA TUHAN

Seorang nenek yang hidup sebatang kara dalam sebuah nagari, ingin berdagang kecil-kecilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah di ambang senja.

Namun untuk mewujudkan keinginan itu, sang nenek bingung dan tak berdaya. Sebab dia tidak mempunyai uang untuk modal dan juga tidak memiliki harta yang bisa dijual dan digadaikan.

Begitu juga untuk meminjam. Dipastikan oleh sang nenek tidak seorang pun yang akan mau memberi pinjaman kepada dia. Karena pinjam meminjam itu, disamping ada boroh, juga harus saling menguntungkan. Kalau tidak ada boroh, jangankan si nenek, orang terhormat saja bisa melarikan diri, untuk mengindari membayar hutang.

Dalam kebingungan itu, si nenek yang semasa remajanya sering menulis surat kepada sang pacar, timbul idenya untuk meminta bantuan dana kepada Tuhan melalui sepucuk surat.

Karena semasa gadis pintar menulis dan merayu, surat yang dialamatkan kepada Tuhan juga ditulis dengan lancar serta mudah dibaca dan dicerna.

Surat yang ditulis sang nenek, isinya begini. Ya Tuhan. Saya adalah hambah-Mu yang lemah dan tak berdaya. Disamping saya hidup dalam kemiskinan, kemelaratan dan kesusahan, saya hanya sebatang kara. Tidak punya sanak pamili tempat mengadu dan meminta. Apa lagi anak dan cucu.

Memang saya punya tetangga dan pimpinan, tapi semuanya sibuk dengan urusanya masing-masing, sehingga tidak sempat menoleh, apa lagi memperhatikan serta menolong dan membantu saya yang hidup dalam kemiskinnan dan penderitaan ini.

Tuhan, di penghujung hidup saya yang makin  hari makin getir ini, saya tidak mampu mengharap belas kasihan orang dengan cara menadahkan tangan, duduk di pinggir jalan di bawah terik panas mata hari dan debu yang berterbangan.

Karena tidak sanggup menjadi pengemis di jalan, supaya bisa mendapat nasi sesuap pagi dan sesuap petang, saya ingin berdagang kecil-kecilan. Namun saya tidak memiliki uang untuk modal

Oleh karena itu, kepada-Mu saya bermohon ya Tuhan. Berilah hambah-Mu ini bantuan modal Rp600 ribu.

Setelah surat selesai ditulis dan ditandatangani, dimasukan oleh sang nenek ke dalam amplot. Sebagaimana layaknya surat yang akan dikirim, di luar amplop yang sudah ditempel perangko secukupnya, ditulis alamat ‘kepada yang terhormat Tuhan’ dan amplop itu dimasukan ke dalam kotak surat yang ada di Kantor Pos.

Ketika  membuka kotak surat serta menseleksi satu persatu amplop yang ada di dalam sebelum dihantarkan sesuai alamat, begitu membaca surat dari sang nenek, pak pos bingung, karena alamatnya kepada Tuhan.

Karena untuk mengantarkan kepada Tuhan adalah hal yang mustahil, supaya bisa dipertanggungjawabkan pak pos berinisiatif menyerahkannya kepada bupati.

Sama dengan tukang pos, pengagenda surat masuk di  bagian umum yang menerima surat juga binggung. Namun karena selaku abdi negara dan masyarakat dituntut memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat, surat yang dilamatkan kepada Tuhan itu dia terima juga dan diserahkan kepada ajudan bupati.

Tidak jauh beda dengan pengagenda surat di bagian umum, ajudan bupati juga hilang akal. Bahkan takut membuka amplop itu, sehingga surat yang baru diterima langsung diserahkan kepada bupati dengan amplop masih utuh serta menjelaskan apa adanya.

Setelah dilihat, diamati dan dipertimbangkan, bupati yang arif bijaksana merobek amplop dan membaca surat yang ada di dalamnya. Setelah itu bupati memasukan uang Rp500 ribu dan menyuruh ajudan mengantarkannya ke rumah si nenek.

Dengan berpakaian seragam pegawai, karena masih dalam jam dinas, ajudan yang diperintah langsung berangkat ke alamat yang dituju. Sesampai di gubuk si nenek yang sudah reot, peot dan tidak layak huni lagi, ajudan yang mengantarkan uang bertanya.

“Benar nenek yang menulis surat kepada Tuhan,” tanya ajudan. “Benar,” jawab si nenek. “Ni, permohonan nenek dikabulkan oleh Tuhan. Bukalah amplopnya dan hitung uangnya,” kata ajudan sambil menyerahkan amplop kepada si nenek.

Sang nenek yang semasa muda cukup jeli dan teliti, setelah amplop dibuka langsung menghitung uang yang ada di dalamnya. Begitu mengetahui berapa isi amplop, dengan penuh haru dan deraian air mata, si nenek langsung menadahkan tangan dan berterima kasih kepada Tuhan.

“Terima kasih ya Tuhan, permohonan hambah-Mu yang lemah dan tak berdaya ini telah Engkau penuhi. Tapi lain kali jangan dikirim melalui pegawai ya Tuhan, sebab belum apa-apa sudah dipotong Rp100 ribu. Yang saya minta Rp600 ribu yang sampai hanya Rp500 ribu,” kata sang nenek.

Dari sepenggal cerita ini, ada hikmah yang perlu dihayati dan dicamkan oleh pegawai. Yaitu sudah berbuat baik, masih saja dituduh berbuat jelek oleh seorang nenek. Apa lagi bila benar-benar melakukan hal jelek, entah bentuk apa tuduhan yang akan diterima. Oleh karena itu berupayalah selalu berbuat baik dan biarkan Tuhan yang menilai. nas@sijunjung.go.id

Related Articles

- Kepala Daerah -spot_img

Latest Articles