Jumat, April 19, 2024

ILUSI RAMADHAN, PAPA MARETEK JADI IMAM

Suatu soreh menjelang senja, sekitar pukul 17.30 WIB, hujan turun dengan lebatnya, bahkan sampai pukul 19.30 WIB tak kunjung redah, sehingga tiga bersaudara Defi, Rini dan Ela, remaja yang biasanya rajin menunaikan shalat Tarawih dan Witir berjemaah di masjid, malam itu tidak bisa pergi.

Karena cuaca yang tidak bersahabat, sementara berangkat dengan mempergunakan payung, juga tidak memungkinkan, sebab disamping hujan semakin deras dan listrik pudur, keluarga itu hanya memiliki sebuah payung.

Supaya mereka tidak kehilangan kesempatan beribadah di bulan mafirah yang penuh berkah dan rahmat ini, sisulung Defi berinisiatif untuk melaksanakan shalat Isya, Taraweh dan Witir berjemaah di rumah dengan mengajak papanya sebagai imam.

“Pa, kami tidak mungkin pergi ke masjid pa, karena hujan tak kunjung redah. Dari pada merugi, sebaiknya kita shalat di rumah saja, papa yang mengimaminya,” kata Defi kepada papanya R. Mandaro.

Mendengar tawaran putranya, Mandaro  kaget dan terkesimak, sehingga dia tidak langsung menjawab, tapi diam dan terpana sambil menatap Defi dengan pandangan hampah.

“Ya pa, kita shalat di rumah saja,” timpal sikecil Ela, mengagetkan Mandaro yang pikirannya sedang menerawang. “Kok baitu nyo kalian, baitu malah,” jawab Mandaro bagaikan terpaksa.

Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, Defi langsung azand. Ternyata suara jebolan SMA ini merdu juga, sehingga azand yang dikumandangkannya enak kedengarannya, karena iramanya juga cukup bagus.

Selesai azand dan berdoa, Defi langsung mengerjakan shalat sunat Kabliatan, begitu juga kedua adik serta papa dan mamanya Desnita, tidak obahnya seperti keluarga sakinah.

Setelah Defi qamad, sang papa maju ke depan menjadi imam. Habis tafakur sejenak, Mandaro langsung takbir, “Allahhhhh huakbar”. Mantap juga intonasi dan suara Mandaro, seperti imam Masjid Masjidilharam di Mekah Al Mukarrahmah.

Begitu membaca “Bismillah,” suara yang semula mantap dan berwibawa, mulai berubah. Mengawali bacaan “Alhamdulillah,”  semakin menurun, sehingga bacaan pateha itu kedengarannya naik turun, kadangkala keras, kadangkala lunak dan menggigil. Seiring dengan itu, sarung yang dipakai Mandaro kelihatannya bergoyang lantaran kakinyo maretek.

Mendengar dan melihat semua itu, anak dan isteri yang menjadi makmum, sebetulnya tidak mampu lagi menahan tawa. Tapi karena takut akan dihardik dan dimarahi, keempatnya berusaha menahan dengan cara menggigit bibir masing-masing.

Selesai salam, ternyata sang papa tidak bisa berdoa, sementara putra putri dan isterinya yang jadi makmum sudah siap untuk mengaminkannya, namun doa yang akan diaminkan itu tidak kunjung terdengar. “Luluikan sajolah!” kata Mandaro sambil mengusapkan kedua telapak tangan ke mukanya. Lagi-lagi ketiga anaknya ingin tertawa, namun mereka berusaha menahannya.

Tanpa melaksanakan shalat sunat Bangdiatan, keluarga ini langsung mendirikan salat Tarawih. Agaknya Mandaro juga tidak hafal  niat salat Tarweh itu, sehingga dia hanya bisa mengomandokannya. “Kito sumbayang tarawiah lai,” kata Mandaro. “Oke pa,” jawab putrinya nomor dua, Rini. Lalu sang imam langsung melapazkan takbir.

Sebagaimana shalat Isya, saat mengimami shalat Taraweh dan Witir, kendati surat yang dikumandangkan hanya “Kulhuhallah dan Inna ‘ataina,” secara bergantian pada rakaat demi rakaat, namun  suara Mandaro semakin menggil dan kakinya semakin maretek, sehingga sarung yang dipakainya semakin bergoyang seperti ditiup angin. Namun yang namanya shalat bisa diselesaikan sampai akhir.

Begitu selesai mengucapkan salam kedua, sikecil Ela langsung berkomentar. “Papa imam idola kami,” katanya bersemangat. “Kok begitu?” tanya Mandaro agak heran. “Kenapa tidak, papa patas (cepat dan terbatas), selain ayatnya pendek yang dibaca itu ke itu saja,” jelas Ela spontan, sehingga sempat mengundang gelaktawa kakak dan mamanya.

Pa, kok suaro apa manggigiah wakatu mambaco patiah pa”? tanya Defi. “Oh, tu ndak manggigiah namonyo tu, tapi itulah irama maso kini,” jawab Mandaro berdiploma. “Ohh, tu kok kaki apa maretek? Sahinggo kain saruang bagoyang”? kejar Defi lagi. “Tu dek angin ma,” jawab Mandaro masih berdusta.

Sabananyo papa kalian, tadi tu iyo maretek. Sabab alah duo  puluah tahun kami barumah tango, baru sakaliko papa kalian jadi imam,” jelas Desnita menghilangkan keraguan putra putrinya.

Iyo ma, papa yo maretek stek,”  aku Mandaro sambiah manakua menyembunyikan malu dan malang kepada putra putrinya. nas@sijunjung.go.id

Related Articles

- Kepala Daerah -spot_img

Latest Articles